SWEET
SEVENTEEN
Malam
pukul 21.00 purnama tak terlintas lagi, kilau sang bintang harus menyerah pada
awan gelap yang menyuruhnya supaya tak bersinar malam ini. Hujan deras bukan
main di tambah oleh suara pepohonan yang tersapu angin. Aku tersungkur di pojok
kamar yang berukuran 4x5 m2. Semuanya gelap,aku tak mau mendengar,
pandanganku kosong, aku muak setiap malam harus mendengar pertarungan
orangtuaku.
Aku
tak mau tau apa yang mereka pertengkarkan. Hanya perkataan papa yang selalu
terngiang-ngiang di telingaku “cerai”. Malam yang seharusnya membuat satu
keluarga berkumpul di ruang keluarga dengan anak semata wayangnya sebagai
putrid kemanjaannya,kini terbalik.. aku tersiksa.
Kadang
aku berpikir tak ada gunanya berada diantara mereka. “plak” satu tamparan
mendarat di pipi mama, aku tersentak dan ingin berlari membela mama. Tapi apa
dayaku ? aku tak bisa, mama tidak akan menghiraukanku. Kenapa ? apa dia tiak
saying padaku .?
“non”
suara wanita setengahbaya membuyarkan lamunanku. Ia mengusap air mataku, aku
menghambur kepelukannya. Hanya dia yang selalu memperhatikanku. Setiap kali dia
menasihati aku agar bersabar dan tegar, karena dia juga aku enggan mengeluarkan
air mataku untuk menangisi mereka, yang bahkan tak peduli terhadapku.
Matahari
tersenyum menyambut pagi, aku bersiap-siap ke sekolah, meski kadang aku merasa
malas. Seperti biasa papa dan mama sudah tidak ada di rumah, hanya pesan dari
mama saja supaya aku sarapan. Tapi aku malas, aku ingin segera berada di
sekolah bertemu teman-temanku yang centil itu. Mereka selalu bisa membuatku
lupa pada masalah yang aku hadapi.
Aku
baru saja turun dari mobilku, ketika monita dan rena muncul di belakangku.
Suaranya yang cempreng hampir mencopotkan jantungku. Melihat aku yang kaget,
mereka malah tertawa terbahak-bahak.
“eh
san liburan kemana ?” Tanya monica.
Aku
terdiam, liburan gimana? Pikirku
“kalau
aku di ajak papa dan mama ke puncak, seru deh ..! tadinya aku mau ajak kamu,
tapi pasti kamu juga liburan ketempat yang lebih serukan ?” cerita monika.
“kalau
aku sih biasa saja, tengokin emihku di tasik. Sambil syukuran empat bulanan
mamaku yang lagi hamil “ seru rena anak asal bandung yang baru sebulan jadi
temanku.
“San,!
Malah diam..?” tukas monica.
Aku
hanya tersenyum. Ahhhh… alangkah bahagianya kehidupan keluarga mereka…
Saat
mata tak lagi bersahabat mendengar suara bapak kimia yang terdengar sayup,
tiba-tiba terdengar bunyi lonceng tanda pelajaran berakhir, dalam sedetik kelas
berubah jadi pasar. Sia-sia saja bapak kimia mengetuk-ngetuk meja dengan
penghapus kayu yang hamper ruksak karena di lempar kesana kemari oleh rangga si
anak kepala sekolah yang terkenal dengan kebandelannya itu.
Aku
malas ikut-ikutan seperti mereka, entah hanya perasaanku saja, waktu terlalu
cepat berdetak. Aku malas pulang ke rumah.
“hei
mo, pulang gak ?” monica mengagetkanku
“aku
mau pulang cepat, soalnya mama mengajakku pergi ke dokter kandungan san “
ceroscos rena yang lagi-lagi mengingatkanku pada mama.
“huh..
yang hamil itu kamu, atau mama kamu ?” sindir monica.
Alangkah
senangnya keluarga rena,sudah keluarganya yang harmonis dan sekarang Tuhan
telah memberikan sang jabang bayi, calon adik rena. Aku yang selalu
mengharapkan kehadiran seorang adik, serasa mustahil terlaksana.
“hei
san,,! Kelamaan mikir ahh. Kita duluan yah.!” Tukas monica yang segera
meninggalkan aku setelah aku mengangguk.
Dengan lesu ku bereskan buku-buku yang hanya
terisi oleh coretan-coretan kecil.
“san
supirmu udah nunggu tuh !” ucap habib, sang ketua kelas di ambang pintu.
Murid blesteran arab-indo itu telah
mengisi hatiku 6 bulan yang lalu, namun tak sempat aku utarakan karena aku
terlalu sibuk dengan orangtuaku. Aku juga malas pacaran sebagaimana anak-anak
16 tahun dan juga teman-temanku yang selalu nyerocos tentang cowok-cowoknya..
aku pikir dengan urusan orangtuaku saja , aku sudah merasa defresi.
Senja
mulai dating, aku berdiam di teras rumah. Memandang langit yang tak sesuram
kemarin. Ah… kadang aku tak ingin menghadapi malam yang selalu suram
bagiku.tapi semenjak pulang sekolah, aku tak melihat orangtuaku. Aku rasa lebih
baik seperti itu.
Saat
aku tersadar, aku sudah terbaring di kasur kamarku, mungkin aku terlalu lelah
sehingga aku tak ingat. Berkali-kali bi minah membujukku untuk makan sesuap
saja. Tapi aku menolak, aku tak punya rasa lapar lagi.
“Neng,
sudah bangun ? air hangat dan sarapan sudah bibi siapkan!”
“
semalam mama dan papa pulang ?” tanyaku.
“malam
sih pulang, tapi pukul 05.00 nyonya pergi lagi” jawab bi minah ragu.
Aku
tak mau mendengar lebih lanjut lagi, dengan sedikit kantuk , aku pergi ke kamar
mandi dan berangkat ke sekolah tanpa sarapan.
Bersambung…..
Kimi
azkyra J